Bullet for My Valentine [Oneshoot]

Krystal – F(x) & Yun – Lunafly

Romance/Crime – AU: Flatmate

.

[Yosh! Valentine emang udah lewat dari kapan tau. But here I am wrote a little Valentine story, muehehe. Well, without any bacot to say, enjoy the read! ;)]

.

Menembak seseorang yang kau sukai di hari valentine dengan menggunakan cokelat adalah hal yang – sangat – biasa, bukan? Lantas bagaimana dengan menembak dengan sebuah handgun?

.

.

.

Hari ini tanggal 10 Februari. Empat hari lagi Valentine.

Kulirik kotak berlapis kertas hias berwarna merah, dengan pita keemasan yang mengikatnya. Paket itu tiba tadi siang. Ketika aku membukanya, iris coklat almond-ku melebar saat mengetahui benda apa yang ada di dalamnya.

Sebuah handgun,

dengan sebuah guide book di dasar kotaknya.

Bukan, handgun ini bukan handgun mainan yang kalian biasa temukan di toy store. Handgun yang sedang kupegang ini memiliki peluru di dalamnya, kira-kira ada enam peluru.

Aku menaruh handgun itu di meja belajar sederhanaku dan mengambil si guide book. Ketika aku membuka guide book itu, sepucuk surat meluncur jatuh dari tengah-tengah lembarannya. Aku berlutut dan mengambil benda tipis itu sebelum membukanya.

Ternyata dari orang itu. Ia memberiku misi untuk melenyapkan anak laki-laki penghuni kamar M27 – satu tingkat di bawah kamar flatku. Batas waktunya adalah sampai Valentine ini.

Dan orang itu bilang — aku tidak boleh gagal.

.

Bullet for My Valentine

Cupid sent me a gun with real bullets in it

I aimed it at you

.

Aku mengenalnya.

Pemuda itu adalah teman SMP-ku dulu, namanya Han Seung Yun. Ia termasuk siswa yang pintar. Aku pernah sekelas dengannya sewaktu SMP. Ayahnya adalah seorang  wartawan yang bekerja di salah satu stasiun televisi lokal, sementara ibunya pemilik toko bunga di lantai dasar flat ini.

Saat ini aku baru saja menghabiskan sarapanku, ddukbokki* dingin yang telah dihangatkan. Setelah meminum susu-ku hingga habis, aku bergegas ke ruang depan, mengira-ngira strategi apa yang kira-kira bisa kugunakan untuk menjebaknya. [ddubokki = Korean rice cake]

Sebenarnya, ini adalah misi pembunuhan pertamaku. Aku direkrut ke dalam sebuah kartel narkoba, dengan imbalan dapat suplai morfin gratis. Aku mulai akrab dengan penggunaan obat penenang semenjak aku kabur dari rumah, dua tahun yang lalu.

Saat itu, ayahku mengancam akan menaruhku di rumah bibiku jika aku menolak untuk menerima pernikahan barunya. Ibuku meninggal ketika aku masih kecil, sehingga aku hanya tinggal berdua dengan ayahku. Semenjak tiga tahun belakangan ini, ayahku mulai mabuk-mabukan. Aku lebih sering menyendiri di kamar, mendengarkan musik atau membaca majalah-majalah yang kubeli.

Ketika aku lulus SMP, aku mulai mengenal cara berdandan yang bagus dan berpakaian secara modis. Aku bisa mengenakan make-up yang membuatku tampak seperti gadis berusia dua puluh tahun. Wajahku yang — kata orang-orang — cukup cantik, serta suaraku yang berkarakter membuatku langsung diterima ketika aku melamar pekerjaan sebagai penyanyi kafe. Pemilik kafe itu menyetujuinya, dan aku menggunakan gaji pertamaku untuk membayar uang sewa flat serta beberapa keperluan untukku yang tinggal sendirian.

Karena suatu hal, aku memutuskan untuk menunda sekolahku. Mungkin, aku akan melanjutkan SMA sekitar setahun lagi dari sekarang ini. Aku bekerja dengan giat, menabung uang hasil pengeluaranku dari menyanyi di kafe, dan membeli beberapa buku serta majalah yang kuinginkan.

Sampai saat itulah aku mulai berkenalan dengan obat penenang.

Pada mulanya, pemain gitar di kafe tempatku bekerja menawariku satu tablet. Karena kukira tidak apa-apa, aku mencoba sedikit. Begitu terus, hingga seminggu pun telah lewat. Ketika kusadari, ternyata aku telah kecanduan. Karena merasa sudah terlanjur — aku pun tetap meneruskan konsumsi obat terlarang itu. Tinggal sendirian tanpa pengawasan membuatku tumbuh jadi anak yang urakan.

Dan sekarang disinilah aku — sedang menyusun rencana untuk menjebak pemuda dari kamar M27 itu.

Han Seung Yun.

~~~

Aku mengambil notebook dari sakuku, dan mulai mencatat hasil pengamatanku sore ini. ia berangkat sekolah jam tujuh, pulang jam dua siang, dan berangkat lagi ke sekolah untuk mengikuti perkumpulan klub sepak bola, atau mengerjakan tugas kelompok—dan baru kembali sekitar jam empat sore. Selebihnya, ia beristirahat di rumah dan tidak keluar lagi.

Hmm, sepertinya ini adalah jadwal rutin.

Aku menaruh kembali notebook kecil itu ke dalam saku jaketku, dan mengayuh sepedaku di sisi jalan. Tujuanku adalah—toko buku di samping taman kota. Ada novel tetralogi edisi terbaru yang ingin kubeli disana.

Kuparkir sepedaku didepan toko—dan segera memasuki toko buku itu. Aku segera menuju bagian tempat rak novel.

Ah, itu dia! Novel yang kuinginkan ada di rak teratas. Tinggal satu pula. Aku segera berjinjit untuk meraihnya.

SEET.

—Ketika sebuah tangan lain ternyata juga memegang novel itu.

“Eh?”

Aku menoleh, dan mendapati seorang anak laki-laki berambut hitam – dengan model yang agak – berantakan yang juga sedang melihat ke arahku. Kami berdua saling berpandangan sesaat. Iris almond-ku bertatapan dengan iris sehitam arangnya.

“S-Seung Yun…?” gumamku tanpa sadar. Ia kelihatan bingung.

“Hm, maaf, apa aku mengenalmu, Nona?” tanyanya. Aku segera tersadar dari keterkejutanku.

“Oh, ya, aku Jung Soojung, yang tinggal di kamar M36 lantai tiga, di atas kamar flatmu,” kataku sembari tersenyum. Aku menarik buku novel itu, dan menyerahkannya padanya.

“Ini. Kamu aja yang ambil.” kataku. Ia kelihatan terkejut.

“Eh? Kamu kan yang mengambilnya duluan. Untukmu saja,” tolaknya dengan halus.

“Tidak usah, tidak apa-apa. Nanti aku akan mencarinya lagi di tempat lain.” Aku bersikeras.

“Oh, baiklah.” ia akhirny mengambil novel itu, dan bergegas ke kasir untuk membayar. Aku melangkah duluan ke pintu keluar.

Sejurus kemudian, aku merasa ada suara langkah kaki yang cepat di belakangku.

“Soojung-sshi, tunggu!” panggilnya dari belakang. Aku menoleh. Ternyata anak laki-laki yang tadi.

“Kita bareng saja sampai ke flat. Lagipula, kita searah kan?” tawarnya sambil tersenyum tipis.

“Hm, oke.”

Yah, walaupun posisi dia saat ini dia adalah ‘target’ku, tidak ada salahnya kan kalau hanya jalan bareng sampai ke flat?

Semenit kemudian, kami pun telah tenggelam pada obrolan seru tentang musik. Rupanya, ia juga penggemar musik. Ia menyukai beberapa band serta penyanyi yang sama denganku. Aku menanggapi obrolannya dengan antusias. Iris hitamnya yang berbinar-binar memerangkapku, memenjarakanku dalam euforia tanpa sadar.

Aku menelan ludah. Inikah yang namanya….

….tertarik?

~~~

Kami berpapasan di balkon lantai dua malam itu—ketika aku hendak turun ke mini market di lantai bawah untuk membeli cola. Malam ini aku sedang mengambil cuti—setidaknya untuk tiga hari kedepan.

“Oh, hai Soojung-sshi!” katanya begitu berpapasan denganku. Aku menoleh, dan tersenyum.

“Malam, Seung Yun-sshi.”

“Yun saja. Orang-orang biasa memanggilku begitu.” Ujarnya sambil tersenyum.

“Oh, baiklah. Mau kemana, Yun-sshi?”

“Ke mini market di lantai bawah. Kau sendiri?”

“Hmm…. kebetulan sekali. Aku juga mau ke sana.”

“Wah, benarkah?” Nada suaranya terdengar riang. “Kalau begitu, uhm, mau kesana bareng?”  tawarnya ramah. Aku terdiam sebentar, sebelum kemudian mengangguk.

“Oke.”

Ya, hanya ke supermarket bareng. Tidak apa-apa, bukan merupakan suatu hal yang besar yang bisa memberikan efek yang berarti.

….Ya, kan?

~~~

Sudah hampir jam sembilan malam, jadi tidak heran kalau mini market sudah mulai sepi. Aku dengan cepat mengambil sekaleng cola serta sekotak biskuit dari rak, lalu berjalan kearah kasir. Sebelumnya, aku melewati rak peralatan mandi – dimana aku melihat Seung Yun yang sedang berkutat di bagian pasta gigi.

Aku berhenti sebentar di rak kondisioner ketika mengingat kondisionerku sudah habis sejak hampir seminggu yang lalu. Aku mengambil kondisioner yang biasa kupakai. Namun sebelum aku memasukannya ke keranjang, aku mengecek dompetku terlebih dahulu, dan ah, ternyata benar. Aku tidak membawa uang lebih untuk ini. Hidup sendirian di usia belia membuatku mengatur uangku matang-matang sebelum membelanjakannya.

Aku menghela napas dan kembali menaruh kondisioner itu ke tempatnya semula, lalu membawa belanjaanku ke kasir dan membayarnya. Seung Yun masih memilih-milih barang yang ingin dibelinya di rak bagian peralatan mandi. Jadi aku memutuskan untuk menunggunya di depan, dan sepuluh menit kemudian ia pun keluar.

“Maaf membuatmu menunggu lama, Soojung-sshi,” ujarnya langsung ketika menghampiriku, lalu kami mulai berjalan ke arah flat kami. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.

“It’s not a big deal, Yun-sshi, santai aja. Aku tidak sedang terburu-buru, kok,” balasku santai. Ia tertawa kecil.

“Kau ini sepertinya tipe gadis yang lumayan penyabar ya?” komentarnya ringan.

Aku mengangkat kedua alisku,”Kau berlebihan.” Aku terkikih pelan, “Tapi terima kasih, Yun-sshi.”

“Oh ya, aku uhm,” Ia merogoh plastik belanjaannya. “Ini.” Tanpa diduga, ia menyerahkan sebotol kondisioner untukku.

“Eh?” gumamku bingung, ketika ia menyodorkan botol itu kepadaku.

“Untukmu,” katanya ringan. “Tadi aku melihatmu memegang ini. Tapi kemudian kamu menaruhnya kembali. Jadi uhm, aku pikir…. ” Ia menggantukan kalimatnya sambil tersenyum canggung.

Aku menatap ke arah botol itu tanpa mengatakan apa-apa, masih terkejut akan tindakannya barusan. Responku ini membuatnya melanjutkan kalimatnya dengan agak panik.

“Kau–kau tidak perlu menggantinya. Tapi kalau kau tidak mau yah, tidak apa-apa. Lagipula salahku karena sudah bertindak sembarangan. Jadi–”

“Terima kasih, Yun-sshi.” ucapanku memotong kalimatnya, sembari aku mengambil pelan kondisioner yang sedaritadi menganggur di tangannya.

Seung Yun sempat terdiam sebentar sebelum akhirnya tersenyum, “Sama-sama.”

Kilat dari matanya yang berwarna hitam tenang tampak hangat dan menyenangkan. “Selamat malam, Soojung-sshi.” katanya sambil melambaikan tangan, begitu kami berdua tiba di tangga.

Aku membalas lambaian tangannya, sebelum ia berbelok ke lantai dua—sementara aku melanjutkan perjalananku ke lantai tiga.

Good night, Seung Yun. Have a nice dream.

~~~

Aku memandangi kalender yang terletak di dekat pintu. Tinggal dua hari lagi.

Dalam dua hari kemarin—entah kenapa aku sudah merasa dekat dengannya. Begitu saja. Ini adalah pertama kalinya aku menerima pemberian dari seseorang, semenjak beberapa bulan belakangan ini. Tak banyak yang mengenalku secara dekat—rekan kerjaku di kafe paling hanya mengobrol hal-hal yang ringan saja, tanpa membicarakan topik-topik yang mendalam mengenai diri masing-masing.

Setelah sekian lama ini—aku merasa diperhatikan. Ada secercah rasa hangat di hatiku, yang perlahan mulai muncul. Aku menjatuhkan diriku ke sofa, dan bersandar di sandaran empuk itu. Ketika aku meletakkan tanganku ke dahi, ternyata wajahku basah.

TES.

Saat itulah aku menyadari kalau—aku sedang menangis.

~~~

Pagi ini berlalu seperti biasa. Aku membuat egg toast* sederhana dan memakannya dengan perlahan. Setelah menghabiskan cokelat hangatku, aku bergegas ke ruang depan. [toast = roti yang digoreng dengan menggunakan mentega]

Semalam aku mendengarkan sang penyiar radio channel kesukaanku mengumumkan sebuah berita kecil, besok malam akan ada perayaan valentine di taman kota. Sepertinya menarik.

Aku menjatuhkan diri di sofa, dan menatap ke kalender sekali lagi. Tinggal satu hari. Besok adalah batas waktunya. Aku menghela nafas.

Mungkin, jika aku tak bertemu dengannya di toko buku seperti itu, aku tak akan menjadi bimbang seperti ini. Tapi, lagipula…

Aku mengambil bantal strawberry di sebelahku, dan menenggelamkan wajahku disana. Sebenarnya, aku sangat membenci misi ini. Tapi apa boleh buat. Ini jalan yang sudah terlanjur kuambil, dan tak ada lagi waktu untuk mundur.

Setidaknya, untuk saat ini.

‘Ting tong.’

Suara bel dari pintu mengagetkanku dari lamunanku. Aku segera bangkit, dan membukanya.

“Pagi, Soojung-sshi.” tamuku menyapa sambil tersenyum.

Aku mengerjapkan mataku dua kali, sedikit terkejut menerima tamu di pagi hari, terlebih lagi tamu itu adalah Seung Yun. “Oh, pagi.”

“Maaf mengganggumu pagi-pagi begini. Aku hanya, uhm, ingin menyerahkan ini.”

Alisku terangkat melihat benda yang disodorkan oleh Seung Yun. Novel yang kemarin tidak jadi kubeli karena kuserahkan kepadanya dan aku juga belum sempat sempat untuk mencari yang baru. “Hm? Tapi kau kan, baru membelinya. Kau sudah selesai membacanya?”

Seung Yun mengangguk. “Aku tidak menghabiskan waktu yang lama untuk membaca novel kesukaanku, Soojung-sshi” katanya meyakinkanku.

Setelah terdiam selama beberapa menit, akhirnya aku mengambil novel itu. “Terima kasih, lagi.” Aku tersenyum senang, “Kau telah banyak membuatku senang akhir-akhir ini, Yun-sshi.”

“It’s not a big deal, Soojung-sshi.” Ia tersenyum penuh arti. Aku memandangnya sambil tersenyum geli. Meniru kalimatku semalam, huh?

Kami terkekeh untuk beberapa saat sebelum akhirnya aku sadar bahwa aku belum menyuruh tamuku ini masuk. Astaga, tuan rumah macam apa aku ini?

“Oh iya! Maaf Yun-sshi, aku hanya membiarkanmu berdiri di luar seperti ini. Silahkan masuk, kebetulan aku sedang membuat egg toast kalau kau mau.”

“Tidak, tidak perlu Soojung-sshi. Tidak masalah. Aku hanya ingin mengantarkan novel itu. Setelah itu aku akan kembali pergi.” Ujarnya menenangkanku.

Aku tersenyum simpul, “Sekali lagi terima kasih, Yun-sshi.”

“Sama-sama.” Kemudian ia berbalik. Namun ketika ia telah berjalan selangkah, ia terdiam, dan kemudian kembali berbalik.

“Uhm, anu, Soojung-sshi…” Ia menunduk dan menelan ludah sebelum kembali menatapku – dan reaksinya itu mengirimkan debaran ke dalam jantungku secara tiba-tiba, “Kau tahu mengenai perayaan valentine di taman kota besok malam?“

“Oh, ya, aku baru saja mendengarnya di radio.”

“Kau akan datang?” tanyanya lagi.

“Hm, mungkin. Kau sendiri?”

Ia membalas dengan anggukan yang sedikit antusias. “Mungkin kau, uhm, mau pergi kesana bersama denganku?” tawarnya ramah, dengan rona merah muda yang terlihat samar-samar di kedua pipinya – jika aku tidak salah lihat.

Oh Soojung, sadarkah bahwa kau telah berhubungan terlalu jauh dengan ‘target’mu ini? Hanya dengan jawaban ‘iya’, maka hubunganmu dengannya akan semakin dalam saja. Dan kau tahu betul bahwa itu akan membuatmu semakin sulit untuk membunuhnya. Jadi lebih baik kau gunakan akal sehatmu, buang perasaanmu, dan katakan ‘tidak’.

“Ya, aku mau.”

Sayang sekali, ternyata lidahku tidak sejalan dengan pikiranku.

~~~

Aku mengambil winter jacket-ku yang berwarna merah dan mengenakannya. Sebagai bawahan, aku mengenakan celana jeans denim biru tua. Setelah merapikan rambutku di depan cermin, aku segera bergegas keluar—ketika kemudian aku menyadari akan sesuatu yang tertinggal.

Handgun itu masih terdiam di atas meja, tersimpan rapi di dalam kotaknya.

Aku menghentikan langkahku.

Sanggupkah aku?

Aku menghela nafas panjang, dan akhirnya membuka kotak itu—dan mengambil handgun di dalamnya. Senjata dari logam itu terasa dingin.

Sedingin hatiku saat ini.

Setelah menghela nafas pendek beberapa kali, aku pun menyimpan handgun itu di dalam saku jaketku.

Benda itu terasa dingin disana.

~~~

“Mau beli Bungeo-ppang* disana, Soojung-sshi?” tawar Seung Yun ketika kami sampai di tempat perayaan itu. [Bungeo-ppang = Kue dari tepung terigu yang dibentuk seperti ikan dan berisi kacang merah.]

Aku mengangguk—karena saat ini aku juga merasa lumayan lapar. Kami pun menghampiri stan Bungeo-ppang itu. Ia memesan satu porsi – isinya tiga buah. Kemudian memberikan satu padaku.

“Terima kasih.” Ujarku saat menerimanya.

“Kalau mau lagi ambil saja, tidak usah sungkan.” Ujarnya ramah, dan aku membalasnya dengan tersenyum.

Kami pun segera mencari tempat duduk untuk menghabiskan Bungeo-ppang itu. Akhirnya aku menemukan sebuah kursi taman kosong di dekat lampu-lampu taman, dan mengajak Seung Yun kesana.

Kami menghabiskan Bungeo-ppang itu dalam hening. Seung Yun sedang menyantap Bungeo-ppang  keduanya, sambil menatap ke langit. Sementara aku sudah cukup kenyang dengan satu Bungeo-ppang yang baru saja kuhabiskan.

“Wah, lihat Soojung-sshi! Ada Polaris disana!” serunya antusias dengan jari telunjuknya yang menunjuk ke langit. Aku menengadah, mengikuti arah telunjuknya.

“Hm? Bintang yang kelihatan lebih terang dari yang lain, yang di sebelah sana itu?” tanyaku tak yakin. Ia mengangguk.

“Kau tahu? Bintang itu digunakan sebagai penunjuk arah. Biasanya digunakan oleh para pengembara yang tersesat,” jelasnya setelah menelan habis Bungeo-ppang terakhirnya. Aku menggumamkan ‘o’ pelan sambil mengangguk angguk kecil.

Aku telah tersesat selama ini, Yun-sshi — dan kau muncul begitu saja, seperti cahaya mentari yang sinarnya mencairkan salju.

Aku terdiam, sebeum kemudian jariku merangkak, menggenggam benda logam yang terdapat di dalam saku jaketku. Aku menghela nafas pendek sebelum mengelap sekitar mulutku dengan tissue yang kubawa.

“Ayo kita lihat-lihat stan yang lain, Yun-sshi!” ajakku sambil bangkit dari kursi taman itu. Ia tersenyum riang.

“Ayo!”

~~~

Kami telah berjalan-jalan selama hampir satu jam. Seung Yun membeli sebuah komik shounen*, sementara aku membeli sebuah gelang handmade lucu yang cukup menarik perhatianku. [shounen = komik yang dikhususkan untuk pembaca laki-laki]

“Hmm, perayaannya menarik ya. Seperti festival.” gumamnya sembari menyeruput minuman kaleng di tangannya. Aku tersenyum.

“Kau benar. Taman kota disini menarik, ya? Sering diadakan perayaan disini pada saat hari-hari spesial.” balasku sambil memasang gelang yang baru kubeli di pergelangan tangan kiriku. “Kira-kira tahun depan ada lagi, nggak ya?”

“Kalau ada, kau akan datang lagi?” tanyanya seraya menoleh ke arahku.

Aku terdiam.

“Hm, aku tidak yakin, Yun-sshi.” desahku pelan. Mataku terasa menghangat. “Mungkin tidak.”

“Oh, begitu.” balasnya ringan.

“Yun-sshi, kita kesana yuk!” Aku menunjuk ke arah tempat sepi di pinggir sungai. “Sebentar lagi akan ada kembang api, dan katanya akan terlihat jelas dan indah dari sana.”

“Oh ya? Baiklah!” Seung Yun dengan semangat mengikutiku ke tempat itu. Kami menuruni tangga yang menuju kearah sungai itu, kemudian duduk di atas anak tangga terakhir, Seung Yun menyusul disampingku

“Dingin. Padahal sudah mau memasuki musim semi, tapi tetap dingin ya?” katanya sembari memandangi langit sebelum akhirnya menegok ke arahku, “Kau tidak kedinginan, Soojung-sshi?”

Aku terdiam, jemari tanganku merogoh ke dalam saku, dan menggenggam benda dingin itu. Aku tidak berani menatapnya balik. Tidak ketika aku akan membunuhnya malam ini, dengan segala kebaikan dan perhatian yang telah kuterima darinya.

So please, please don’t give me that gentle look.

“Maafkan aku, Han Seung Yun.”

Bersamaan dengan suara lirihku itu, terdengar suara meriah kembang api yang baru saja diluncurkan.

“Kau mengatakan sesuatu, Soojung-sshiI?” Seung Yun menaikan sedikit volume suaranya karena suaranya beradu dengan suara gaduh dari ledakan kembang api.

Aku meraih handgun itu, dan menahannya di dalam saku. Ditempat ini tidak ada orang lain selain kami berdua. Dan suara gaduh kembang api akan semakin membantuku untuk menyamarkan suara ledakan dari peluru yang – akan – aku keluarkan.

“Terima kasih Yun-sshi, terima kasih.” Aku mengangkat wajahku dan menatapnya, dimana tanpa kusadari air mata telah mengalir deras diatas pipiku. “Maafkan aku.”

Kelopak mata Seung Yun terbuka lebar, “S-Soojung-sshi!? Kau kena–”

DOR.

Sebuah peluru meluncur dengan suara letusan pelan, dan melaju dengan kecepatan tinggi. Mengenai jantung Seung Yun. Ia ktersentak sesaat, sebelum menoleh dengan susah payah ke arah jantungnya, dan kembali ke arahku.

“S-Sooju—”

Ia sudah terlanjur rubuh sebelum sempat menyelesaikan ucapannya, sebelum selesai menyebut namaku untuk yang terakhir kalinya.

Aku menundukkan pandanganku, membiarkan airmataku bercampur dengan darah segar yang terus keluar dari jantung Seung Yun. Jemariku yang gemetar dengan hebat masih tertahan di pelatuk handgun.

“M-maaf, Yun-sshi. Maaf. Maafkan aku.”

Terima kasih telah menjadi Polaris untuk hidupku beberapa hari ini.

Aku menyeret jasadnya kearah sungai yang jaraknya hanya sekitar empat langkah dari tempat kejadian perkara, berniat membuang mayatnya ke sungai untuk menghilangkan jejak kriminalku. Dan ketika aku menyeretnya, aku melihat sebuah benda berbentuk persegi sempurna keluar dari dalam saku jaketnya.

Napasku langsung tertahan ketika melihatnya, dan refleks aku melepaskan tanganku dari badan Seung Yun yang semakin mendingin. Aku mendekati benda itu dan mengambilnya. Sebuah Album CD terbaru dari band yang aku dan Seung Yun sukai. Diatas covernya terdapat kertas yang bertuliskan:

“Untuk Soojung-sshi. Semoga kita bisa berteman dekat.” —- Han Seung Yun

Aku tercekat. Kupegang CD di genggamanku itu erat, sampai tanganku berkeringat. Badanku terasa gemetaran.

“Yun-sshi….”

Aku menyebut namanya sekali lagi dengan suara yang lirih dan gemetar, dengan segenap rasa penyesalan yang masih tersisa di hatiku yang pilu. Kupeluk CD yang berlumuran darah itu erat-erat, seluruh badanku bergetar hebat melawan segenap emosi yang berkecamuk di dalamnya, sementara hatiku menangis tanpa suara.

Handgun itu tergeletak disana, terdiam di atas tumpukan tanah yang dingin.

Aku telah kehilangan polarisku — penunjuk arahku.

.

If we could start all over again,

I’d love to go to the winter festival to see fireworks with you once more,

And say ‘thank you’ as much as I can, repeat it again and again how many times you want.

 Goodbye, my beloved,

My first and last valentine.

.

~~~~~

Word count : 3069

Judul awal sebenernya cuma Valentine Bullet. Eh tapi pas iseng-iseng nyari di google dengan keyword: ‘bullet’, ternyata muncul judul yang sekarang, yang sebenernya adalah nama dari sebuah band — entahlah, i’m not sure either coz i myself hadnt heard it before haha.

Yap, thanks buat kalian yang udah membaca sampai habis, baik siders ataupun kalian yang memberikan feedback. Thank you so much~<3

6 thoughts on “Bullet for My Valentine [Oneshoot]

Leave a comment